Allah SWT menjadikan semua yang ada di bumi sebagai lapangan untuk
mencari rezeki atau kehidupan. Oleh karena itu, bertebaranlah di muka
bumi ini untuk mencari anugerah dari Allah SWT. Al-Qur’an menganjurkan
manusia agar bersikap disiplin dan menggunakan waktu secara efektif dan
efisien. Apabila seseorang ingin mengalami kesuksesan dalam
kehidupannya, salah satu modal utama adalah memiliki etos kerja yang
tinggi.
Dalam risalah yang mengandung pedoman hidup yang lengkap dan lurus
terdapat pula etos kerja, berupa pedoman dan tuntunan dalam bekerja
supaya karyanya sukses dan berkah. Etos kerja yang datang dari Allah
Pencipta dan Penguasa alam raya inilah yang paling tepat dan yang hak,
karena tiada lagi keterampilan dan pengaturan dari makhluk manapun yang
mampu menandinginya.[1]
Dalam ceramah agama ilmiah ini akan dibahas mengenai etos kerja dalam
Al-Qur’an. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai etos
kerja. Etos kerja bagi seorang muslim akan berbeda dengan orang yang
berbeda agama. Seperti yang terdapat dalam Surat Al-Mujadilah,
Al-Jumu’ah, Al-Mulk dan lain sebagainya.
Ceramah Agama Islam Terbaru
Ceramah Agama Islam (Foto: Kemendesa.go.id)
Etos berasal dari kata Yunani, dapat mempunyai arti sebagai sesuatu yang
diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja.
Dari kata ini lahirlah apa yang disebut dengan “ethic” yaitu pedoman,
moral dan perilaku, atau dikenal pula etiket yang artinya cara bersopan
santun. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan etos adalah norma serta
cara mempersepsi, memandang, dan meyakini sesuatu.[2] Ada beberapa
definisi etos menurut para tokoh sebagai berikut:
a. Menurut Geertz, etos merupakan sikap mendasar manusia terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup.
b. Soerjono Soekanto mengartikan etos antara lain, nilai-nilai dan
ide-ide dari suatu kebudayaan, atau karakter umum suatu kebudayaan
c. Nurcholis Madjid, etos berasal dari bahasa Yunani (ethos), artinya
watak atau karakter. Secara legkap etos ialah karakter dan sikap,
kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang
seorang individu atau sekelompok manusia. Dan dari kata etos terambil
pula perkataan “etika” yang merujuk pada makna “akhlak” atau bersifat
akhlaqiy, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok manusia
termasuk suatu bangsa.
d. Musya Asy’arie menjelaskan kata etos bisa dikaitkan dengan inidividu selain dikaitkan dengan masyarakat.[3]
Sedangkan kata “kerja” sendiri didefiniskan sebagai kegiatan
melakukan sesuatu; sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata
pencaharian.[4] Islam mengatur setiap persoalan, termasuk memenuhi
kebutuhan hidup (kerja), dengan asas agama (religiusitas). Islam juga
memadukan segala nilai material dan spiritual ke dalam satu keseimbangan
menyeluruh agar memudahkan manusia menjalani kehidupan yang telah
ditentukan oleh rahmat dan kasih sayang Allah di akhirat nanti.[5]
Yang dimaksud dengan bekerja adalah segala usaha maksimal yang
dilakukan manusia, baik lewat gerak tubuh ataupun akal untuk menambah
kekayaan, baik dilakukan secara perorangan ataupun secara kolektif, baik
unutk pribadi ataupun untuk orang lain (dengan menerima gaji).[6]
Makna bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang
sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, fikir, dan dzikirnya
untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba
Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai
bagian dari masyarakat yang terbaik (khoiro ummah) atau dengan kata lain
dapat juga dikatakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu
memanusiakan dirinya.[7]
Dari beberapa definisi dan penjelasan di atas, yang dimaksud etos
kerja adalah karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang
terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya.[8]
Pengertian Kerja Menurut Perspektif Al-Qur’an
Di dalam kaitan ini, Al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan
keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain
ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan,
terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di
akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja
positif dan negatif. Di dalam Al-Qur’an banyak ditemui ayat tentang
kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
a. Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukminun: 40.
b. Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
c. Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
d. Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
e. Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maluka, ‘amaluhu,
‘amalikum, ‘amaluhum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud:
15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
f. Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti
dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.[9]
Komponen Dasar Etos Kerja dalam Agama Islam
a. Iman dan Taqwa
Dalam Al-Qur’an banyak memuat ayat yang manganjurkan taqwa dalam
setiap perkara dan pekerjaan. Ayat-ayat tentang keimanan selalu diikuti
dengan ayat-ayat kerja, demikian pula sebaliknya. Ayat seperti
“orang-orang yang beriman” diikuti dengan ayat “dan mereka yang beramal
sholeh”. Keterkaitan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa
taqwa merupakan dasar utama etos kerja, apapun bentuk dan jenis
pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya.
Perlu kiranya dijelaskan di sini bahwa kerja mempunyai etos yang
harus diikutsertakan di dalamnya, oleh karena kerja merupakan bukti
adanya iman dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para pekerja
dapat meningkatkan tujuan akhir dari pekerjaan yang mereka lakukan,
dalam arti bukan sekedar mencari upah dan imbalan, karena tujuan utama
kerja adalah demi memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat
kepada umat. Etos kerja yang disertai dengan ketaqwaan merupakan
tuntunan Islam. Sehingga seluruh aktifitas umat Islam tidak lepas dari
nilai-nilai keimanan.
b. Niat
Pembahasan mengenai pandangan Islam tentang etos kerja dapat dimulai
dengan usaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi bahwa nilai
setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat pelakunya, jika
tujuannya mencari ridha Allah maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja
yang tinggi, dan jika tujuannya hanya untuk memperoleh simpati, maka ia
pun akan mendapatkan nilai rendah.
Niat atau komitmen ini merupakan suatu keputusan dan pilihan pribadi,
dan menunjukkan keterikatan antara nilai-nilai moral serta spiritual
dalam pekerjaan. Karena nilai-nilai moral dan spiritual itu bersumber
dari Allah dengan ridha-Nya, maka secara keagamaan semua pekerjaan
dilakukan dengan tujuan memperoleh ridha Allah. Oleh karena itu, dapat
ditegaskan bahwa pekerjaan yang dilakukan tanpa tujuan luhur yang
terpusat pada usaha mencapai ridho Allah berdasarkan iman kepadanya itu
tidak mempunyai nilai apa-apa.[10]
Karakteristik Etos Kerja Islami
1. Kerja Merupakan Penjabaran Aqidah
Manusia adalah makhluk yang dikendalikan oleh sesuatu yang bersifat
batin dalam dirinya, bukan oleh fisik yang tampak. Ia terpengaruh dan
diarahkan oleh keyakinan yang mengikatnya. Faktor agama memang tidak
menjadi syarat timbulnya etos kerja tinggi seseorang. Hal ini terbukti
dengan banyaknya orang tidak beragama mempunyai etos kerja yang baik.
Tetapi ajaran agama merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi sebab
timbulnya keyakinan pandangan serta sikap hidup mendasar yang
menyebabkan kerja tinggi manusia terwujud.
2. Kerja Dilandasi Ilmu
Konsekuensi Islam sebagai agama ilmu dan amal (termasuk kerja)
menuntut umat Islam untuk selalu mengupayakan peningkatan serta
pemerataan keduanya secara sungguh-sungguh.
a. Bahwasannya sumber ilmu yang mendasari etos kerja islami adalah wahyu dan keteraturan hukum alam (hasil penelitian akal)
b. Bahwasannya ilmu ‘aqliy, sebagaimana ilmu yang berdasarkan wahyu,
dalam Islam dipandang amat penting serta menempati posisi yang amat
tinggi bersama iman
c. Bahwasannya proses memperoleh ilmu ‘aqliy adalah dari keteraturan
hukum alam (sunatullah atau ketetapan takdir yang mungkin diketahui
secara objektif). Pemahaman itu memperkuat iman serta mendidik orang
Islam bersangkutan untuk beretos kerja tinggi Islami, bersikap ilmiah,
proaktif, berdisiplin tinggi, dan seterusnya.
3. Kerja dengan Meneladani Sifat-Sifat Ilahi serta Mengikuti Petunjuk-PetunjukNya
Keistimewaan orang yang beretos kerja islami aktivitasnya dijiwai
oleh dinamika aqidah dan motivasi ibadah. Orang yang beretos kerja
islami menyadari bahwa potensi yang dikaruniakan dan dapat dihubungkan
dengan sifat-sifat Ilahi pada dasarnya merupakan amanah yang mesti
dimanfaatkan sebaik-baiknya secara bertanggung jawab sesuai dengan
ajaran (Islam) yang ia imani. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits
Rasul banyak yang menyuruh atau mengajarkan supaya orang Islam giat dan
aktif bekerja. Artinya, agar mereka giat memanfaatkan potensi-potensi
yang ada dalam diri mereka, sekaligus memanfaatkan sunatullah di alam
ini.[11]
Motivasi Kerja Seorang Muslim dalam Al-Qur’an dan Hadis
1. Dalam pandangan Rasulullah terdapat perbedaan sejati antara
bekerja tanpa ilmu dengan bekerja dengan ilmu. Menurut Rasulullah
“sedikit kerja tetapi dilandasi ilmu itu akan produktif sedangkan banyak
kerja dengan dilandasi kebodohan hasilnya kurang produktif. Ini
merupakan kritikan sekaligus peringatan dari rasulullah kepada umat
islam untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
produktivitas dan kreativitas bisa meningkat.
2. Islam bukan agama asketis. Islam mengajarkan kita untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai keimanan dalam bentuk amal, kerja, atau
perbuatan.
3. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa salah satu kewajiban manusia di
muka bumi ini adalah mencari karunia Allah di seluruh muka bumi.
Karunia Allah atau rezeki bisa didapat ketika kita melakukan
pencaharaian, usaha, atau, melakukan perjalanan ke segala penjuru bumi.
4. Tidak semua amal ibadah bisa diselesaikan hanya dengan hati dan
perbuatan. Namun, terdapat sejumlah amalan Islam yang perlu didukung
oleh harta dan kekayaan. Untuk naik haji kita membutuhkan ongkos
berangkat dan biaya hidup. Zakat membutuhkan kekayaan yang sampai pada
nishabnya. Demikian pula yang lainnya. Dengan kata lain, ada sejumlah
amalan Islam yang hanya bisa dijalankan jika kita memiliki sejumlah
harta.
5. Salah satu ciri orang yang hidup di zaman modern adalah mereka yang memiliki kemampuan membagi waktu.
6. Allah beserta Rasul dan orang-orang mukmin seluruhnya, secara
psikologis mendukung dan memperhatikan hasil kerja setiap muslim.[12]
Seperti yang dijelaskan dalam Surat At-Taubah ayat 105:
Artinya: “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, . . . .” (QS.
At-Taubah : 105).[13]
Kajian Etos Kerja dalam Al-Qur’an
1. QS. Al-Mujadilah (58) : 11
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”,
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Mujadilah (58) : 11).[14]
Asbabun Nuzul ayat tersebut adalah: Dalam suatu riwayat Ibnu Abi
Hatim dikemukakan bahwa ayat ini turun pada hari Jum’at di saat
pahlawan-pahlawan Badar datang ke tempat pertemuan yang penuh sesak.
Orang-orang tidak mau memberikan tempat kepada mereka sehingga banyak
yang berdiri. Rasulullah SAW menyuruh orang-orang yang duduk untuk
berdiri dan memberikan tempat duduknya, namun mereka merasa tersinggung.
Ayat ini turun sebagai perintah kepada kaum mukmin untuk menaati
Rasulullah SAW dan memberikan kesempatan duduk kepada sesama mukmin.
Penafsiran ayat tersebut adalah:
a. Wahai sekalian mereka yang beriman kepada Allah dan membenarkan
RasulNya, apabila dikatakan kepada kamu: “lapangkanlah sedikit tempat
duduk untuk diduduki oleh saudara-saudaramu”, maka hendaklah kamu
bermurah hati memberikan luang bagi saudara-saudaramu supaya Allah
memberikan keluasan kepadamu, karena orang yang memberi kelapangan bagi
saudaranya di dalam majlisnya, Allah memberikan keluasan kepadanya
bahkan memuliakannya, karena mengingat bahwa pembalasan itu sejenis
amalan.
b. Apabila kamu diminta berdiri dari majlis Rasul untuk memberi ruang
bagi orang lain atau kamu disuruh pergi dari majlis Rasul maka
hendaklah kamu berdiri, karena Rasul terkadang ingin bersendiri untuk
menyelesaikan urusan-urusan agama, ataupun menunaikan tugas-tugas yang
tidak mungkin disempurnakan dengan beramai-ramai.
c. Allah mengangkat derajat orang-orang beriman, yang mematuhi
perintah dan Allah mengkhususkan beberapa derajat lagi kepada
orang-orang yang berilmu.
d. Allah mengetahui segala perbuatanmu tak ada yang tersembunyi
bagiNya. Allah mengetahui siapa yang taat dan siapa yang durhaka.[15]
Kandungan ayat tersebut:
Islam memerintahkan untuk berusaha keras dalam menuntut ilmu
pengetahuan dan hal tersebut menjadi kewajiban manusia selama hidup.
Menuntut ilmu pengetahuan harus disertai pula dengan keimanan yang kuat
agar mencapai derajat yang tinggi, baik di dunia maupun di akhirat.
Allah menempatkan orang-orang yang beriman, berilmu dan beramal
shaleh sesuai dengan ilmunya pada derajat yang paling tinggi. Allah
pasti meningggikan derajat orang-orang yang dalam dirinya terdapat tiga
hal, yaitu keimanan, ilmu pengetahuan dan amal shaleh.
Sehubungan dengan hal tersebut, Rasulullah terlah bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلٌ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهَ وَسَلَّمَ طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: Dari Anas Ibn Malik berkata : Rasulullah bersabda: “Menuntut Ilmu itu wajib bagi setiap muslim. (HR. Ibnu Majah).
Hadits di atas menjelaskan bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib bagi
setiap muslim. Agar ilmu yang diperoleh bermanfaat, maka hendaknya
memenuhi etika dalam menuntut ilmu, seperti bersikap tawadhu’ terhadap
guru, dan bersikap lemah lembut terhadap siswa.
2. QS. Al-Jumu’ah (62) : 9-10
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
Mengetahui. Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah (62) : 9-10).[16]
Penafsiran dari ayat tersebut adalah:
a. Apabila muazzin telah berazan dihadapan imam dan imampun telah
berada di atas mimbar pada hari Jum’at untuk khutbah Jum’at, maka
tinggalkanlah segala pekerjaanmu dan pergilah untuk mendengarkan khutbah
imam dan hendaklah kamu berjalan dengan tenang, tidak tergesa-gesa.
b. Apabila kamu telah menunaikan sembahyang, maka pergilah kamu untuk
mengerjakan kemaslahatannya yang duniawi. Carilah keutamaan Allah serta
sebutlah Allah dan ingatlah bahwa segala gerak gerikmu diperhatikan
Allah, tak ada satupun yang luput dari perhatianNya.[17]
3. QS. Al-Mulk (67) : 5
Artinya: ”Sesungguhnya kami Telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang, dan kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaitan, dan kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang
menyala-nyala”. (QS. Al-Mulk (67) : 5)[18]
Penafsiran ayat tersebut adalah:
Bintang-bintang yang bersinar di angkasa tinggi memberikan cahaya
kepada orang yang berbakti dan orang yang berbuat maksiat. Masing-masing
mereka mempergunakan sinar bintang-bintang itu menuruti keadaan yang
layak bagi mereka. Orang-orang yang durhaka kepada Allah mempergunakan
limpahan bintang-bintang itu untuk jalan memenuhi hawa nafsu dan
merekalah yang akan dibenam di dalam neraka.[19]
4. QS. An-Naba (78) : 11
Artinya: “Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan”.[20]
Penafsiran ayat tersebut adalah:
Dan kami jadikan siang hari sebagai masa untuk mencari upaya
penghidupan, karena segala aktivitas dan kesibukan manusia dilakukan
pada siang hari, baik yang menyangkut kebutuhan hidup mereka maupun
dalam hal mencari upaya penghidupan.[21]
5. QS. At-Taubah (9) : 105
Artinya: “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan”.
(QS. At-Taubah : 105).[22]
Penafsiran QS. At-Taubah : 105 Menurut Beberapa Mufassir:
a. Tafsir Al Munir
I’malu, Imam Zuhaili dalam kitab al-Munir menafsirkan kalimat
tersebut sebagai perintah bagi umat manusia supaya menjalankan pekerjaan
sesuka hati “bekerjalah kalian sesuai kehendakmu” baik berupa kebajikan
maupun kemaksiatan.
Semua amal umat manusia akan dikembalikan besok di hari kiamat kepada
Allah SWT yang Maha mengetahui hal-hal yang tidak nampak dan perkara
yang tampak.
Kemudian Allah akan memperlihatkan amal-amal mereka, serta akan
membalas segala amal perubuatan mereka sesuai dengan perbuatan mereka.
Jika berbuatan mereka baik, maka Allah akan memberikan pahala bagi
mereka, dan sebaliknya Allah akan menyiksa mereka yang berbuat
maksiat.[23]
Kalimat tersebut menunjukkan adannya Allah SWT, dan dalil bagi ahlul
sunnah bahwa setiap sesuatu yang dibuat, maka hal tersebut akan dapat
dilihat.[24] Dari keterangan imam al-Zuhaili tersebut mengandung arti
bahwa umat manusia diperintahkan agar melakukan pekerjaannya sesuai
dengan kehendak hati. Akan tetapi semua perbuatan yang dikerjakan oleh
manusia akan dilihat oleh Allah SWT, dan semua amal manusia akan
diperlihatkan kepada manusia dihari kiamat, serta memberikan imbalan
sesuai dengan perbuatan mereka sewaktu hidup di dunia.
Contoh Etos Kerja dalam Bidang Pendidikan Kajian Ceramah Agama Islam
Pengajar dan pendidik adalah sama. Keduanya tidak dapat dibedakan.
Oleh karena itu, dalam konsep pendidikan mengarah kepada pembentukan
akhlak, dalam prosesnya tidaklah digunakan ta’dib dan ta’lim.[25] Dengan
demikian dapat dipahami bahwa profesi guru merupakan profesi yang
paling mulia dan paling agung dibanding dengan profesi yang lain. Dengan
profesinya itu seorang guru menjadi perantara antara peserta didik
dengan penciptanya.
Tugas guru Pendidikan Agama Islam tidak hanya mengajar dan
menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didiknya, akan tetapi guru
Pendidikan Agama Islam juga harus memberikan bimbingan dan asuhan
terhadap peserta didiknya agar nantinya peserta didik dapat memahami,
menghayati, dan mengamalkan agama Islam, serta menjadikannya sebagai
jalan kehidupan, baik pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Guru
Pendidikan Agama Islam akan berhasil dalam menjalankan kewajibannya
apabila guru tersebut memiliki kompetensi personal religius, dan
kompetensi profesional religius. Sekolah yang fasilitasnya bagus
memerlukan etos kerja guru yang baik pula.
Sosok guru yang berkompeten bukan hanya guru yang memiliki ilmu
tinggi, akan tetapi etos kerja yang baik juga harus dimiliki oleh guru.
Berkaitan dengan surat At-Taubah ayat 105, yaitu bahwasannya setiap amal
yang dikerjakan akan diketahui oleh Allah SWT, dan semua amal manusia
akan diperlihatkan besok setelah hari kebangkitan dari kubur, setelah
itu akan menerima balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dikerjakan
di muka bumi. Unsur-unsur etos kerja yang harus dimiliki oleh guru
Pendidikan Agama Islam antara lain kedisiplinan kerja, sikap guru PAI
terhadap pekerjaan, serta kebiasaan-kebiasaan yang baik dari seorang
guru PAI.
Kesimpulan
Etos kerja adalah karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang
terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Komponen
dasar dari etos kerja adalah iman dan taqwa, serta niat. Umat Islam
memiliki karakteristik tersendiri mengenai etos kerja. Dalam
melaksanakan pekerjaan, ada beberapa motivasi yang mempengaruhi.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai etos kerja. Dalam
ayat tersebut dijelaskan mengenai etos kerja yang diajarkan oleh Allah.
Sebagai umat muslim sudah sebaikanya untuk membiasakan diri dengan
perilaku etos kerja yang baik. Perilaku tersebut antara lain:
1. Manusia hendaknya memahami perannya sebagai khalifah yang bertugas
memakmurkan bumi dengan bekerja keras dan menuntut ilmu sebaik-baiknya
untuk bekal masa depan
2. Memiliki sikap dan sifat yang tidak merugikan orang lain walaupun orang lain lebih mulia dan tinggi derajatnya
3. Mencintai pekerjaan walau sekecil apapun dan menyadari bahwa
segala yang ada di dunia ini telah diciptakan dengan sempurna oleh Allah
4. Melaksanakan ajaran Islam untuk bekerja keras guna menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup yang baik dan sejahtera
serta sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup yaitu kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Maraji’
[1] Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hal. 2.
[2] Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 25-26.
[3] Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), hal. 26.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 751.
[5] Husain Syahatah, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005, hlm. 21
[6] Yusuf Qhardawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 104.
[7] Ibid., hal. 27.
[8] Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami . . . , hal. 26.
[9] http://fidiyanarani.blogspot.co.id//etos kerja Islami, diakses pada tanggal 24 November 2015 pukul 9.36 WIB.
[10] Ibid.,
[11] Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami . . . , hal. 104-122.
[12] Cecep Darmawan, Kiat Sukses Manajemen Rasulullah Manjemen Sumber
Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyah, (Bandung: Khazanah
Intelektual, 2006), hal. 193-194.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Pustaka Al-Hanan, 2007) hal. 203.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Pustaka Al-Hanan, 2007), hal. 543.
[15] Hasbi, Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid “an-Nur”, (Jakarta : Bulan Bintang, 1965), hal. 23-27.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Pustaka Al-Hanan, 2007) hal. 554.
[17] Hasbi, Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid “an-Nur”. . . . , hal. 121.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Pustaka Al-Hanan, 2007) hal. 562.
[19] Hasbi, Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid “an-Nur”. . . . , hal. 11.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Pustaka Al-Hanan, 2007) hal. 582.
[21] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : Toha Putra, 1993), hal. 11.
[22] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Pustaka Al-Hanan, 2007) hal. 203.
[23] Wahbah az-Zuahiliy, Tafsir Al Munir, (Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashir, 1991), Juz 11, hal. 27.
[24] Ibid., hal. 35.
[25] Abidun Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hal. 63.